Politik Anggaran: Harga BBM dan Pengalihan Subsidi, Kuliah Umum Pasca-Sarjana, Fisip, Universitas Bengkulu
16 Januari 2015
Setelah sempat tertunda beberapa lama, saya akhirnya jadi ke Bengkulu memenuhi undangan Wakil Dekan Fisipol UNIB untuk bicara di depan para mahasiswa Magister Ilmu Administrasi (MIA). Topik yang dikehendaki kebetulan sangat aktual, yaitu bagaimana politik anggaran yang terkait dengan harga BBM dan pengalihan subsidi di Indonesia. Pemerintah Jokowi berencana untuk menurunkan harga BBM lagi setelah mengetahui bahwa harga minyak mentah di pasar internasional turun drastis dari angka 90 USD per barel menjadi 45 USD per barel. Tetapi apakah rencana presiden untuk menurunkan lagi harga BBM itu bijaksana? Saya cenderung mengajukan jawaban tidak. Disamping karena harga minyak secara internasional belum tentu pada tingkat yang rendah seperti ini untuk jangka waktu yang panjang, harga BBM yang terlalu murah hanya akan mengakibatkan pemborosan energi tak terbarukan ini terus berkelanjutan sedangkan upaya penghematan energi kurang mendapatkan insentif yang memadai. Di luar itu, yang penting bagi pemerintah adalah memikirkan secara serius pengalihan subsidi dan menindaklanjutinya dengan implementasi yang konsisten. Infrastruktur, transportasi publik, ketahanan pangan adalah sebagian dari aspek kebijakan yang perlu mendapatkan belanja pemerintah yang lebih besar supaya daya saing Indonesia terus meningkat. Saya harap kuliah umum di UNIB ini akan memicu pemikiran bagi generasi birokrat di pemerintah daerah yang lebih punya komitmen untuk memanfaatkan anggaran pemerintah buat kepentingan publik.
[selengkapnya]
Pencegahan Korupsi dan Etika Administrasi Negara, Kuliah Umum FISIP Universitas Hang Tuah, Surabaya
14 Januari 2015
Di Universitas Hang Tuah (UHT), sebuah PTS di Surabaya yang didirikan oleh Yayasan milik Angkatan Laut, saya mendapat undangan untuk memberikan kuliah umum tentang pencegahan korupsi dan etika administrasi negara. Presiden Jokowi memiliki visi yang cocok dengan strategi kemaritiman dan kelautan. Karena itu, saya sangat antusias memberikan ceramah dan berdiskusi dengan para mahasiswa yang masih idealis tersebut. Di luar dugaan, ada begitu banyak pertanyaan kritis yang mereka ajukan seputar upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Saya berharap bahwa butir-butir pemikiran tentang apapun langkah yang harus dilakukan bagi penyadaran mengenai pentingnya penciptaan integritas pejabat publik supaya Indonesia menjadi negara yang lebih maju dan bermartabat itu tidak terhenti dalam wacana. Betapapun, kalau menyangkut etika bagi para pejabat dan birokrat publik, yang penting bukanlah wacananya tetapi penghayatan dan pelaksanaannya secara konsisten.
[selengkapnya]
"Mengatasi Pemborosan Birokrasi", Jawa Pos, 19 Desember 2014
20 Desember 2014
Sebagian dari PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dalam organisasi pemerintah kini tidak berani lagi menyelenggarakan kegiatan pelatihan, seminar, atau lokakarya di hotel. Menteri PAN dan RB sudah mengedarkan surat yang melarang kegiatan tersebut di semua organisasi pemerintah di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Namun tampaknya masih akan selalu ada kontroversi dan plus-minus dari larangan tersebut. Sebagian pendapat mengatakan bahwa larangan untuk mengadakan rapat-rapat dinas di hotel tidak akan mampu mengurangi pemborosan di dalam birokrasi publik secara signifikan karena kemungkinan celah-celah kebijakan yang tetap dapat bisa dimanfaatkan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa kebijakan itu mengandung masalah karena akan mengurangi manfaat dari kegiatan MICE (Meetings, Incentives, Conferences & Exhibitions) yang merugikan sektor wisata. Tetapi ada satu persoalan mendasar yang tampaknya luput dari perhatian pemerintah dalam rangka mengatasi masalah pemborosan oleh birokrasi publik, yaitu kurangnya pendekatan komprehensif untuk mengendalikan kecenderungan "budget maximizing" dan memperkuat visi pelayanan publik diantara para aparat pemerintah. Ini memang bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah. Namun persoalan mendasar inilah yang sebenarnya mengakibatkan mengapa kontribusi pemerintah terhadap peningkatan daya-saing nasional masih rendah.
[selengkapnya]
Pengelolaan Keuangan DPRD dan Setwan, Bintek Optimalisasi Fungsi Setwan Kab Jepara, Solo
17 Desember 2014
Sejak reformasi politik dilakukan dalam lebih dari 15 tahun di Indonesia, biaya demokrasi menjadi salah satu yang dirasakan oleh publik karena begitu besarnya dana publik yang dihabiskan akibat menguatnya lembaga-lembaga politik. Meningkatnya dana publik yang dihabiskan untuk biaya penggajian para wakil rakyat di DPRD merupakan salah satu hal yang dirasakan oleh rakyat. Namun apakah besarnya biaya untuk menggaji anggota DPRD dan membiayai biaya operasional mereka ini bukan karena peraturan yang memang mendukungnya? Apakah itu juga bukan karena Setwan sebagai aparat eksekutif yang menunjang administrasi keuangan DPRD yang tidak memahami fungsinya sebagai pengelola keuangan DPRD? Ini adalah sebagian dari pertanyaan besar yang ingin saya bahas bersama seluruh aparat Setwan dari kabupaten Jepara dalam sebuah lokakarya di Solo. Saya sengaja tidak bicara hanya pada tingkat teknis mengenai ketentuan yang terdapat di dalam peraturan perundangan mengenai keuangan DPRD. Tetapi saya juga mengajak para pegawai di Setwan untuk mendorong keseimbangan antara hak dan kewajiban yang melekat pada setiap anggota DPRD. Jadi, bukan hanya soal hak-hak keuangan yang harus dipahami oleh para politisi daerah itu, melainkan juga soal kewajiban-kewajiban legislasi yang selama ini kurang banyak dibahas di dalam wacana tentang kinerja anggota DPRD. Sesuai dengan surat edaran Menpan dan RB tentang penghematan anggaran pemerintah, pelatihan ini tidak diadakan di hotel tetapi di aula STIE Santo Pignatelli, Solo.
[selengkapnya]
"Mengatasi Fragmentasi Kepentingan: Politik Anggaran Subsidi", Seminar PSKK-UGM, Jogja
05 Desember 2014
Seminar nasional yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, kali ini tampaknya terkait dengan isu kebijakan aktual mengenai pengurangan subsidi BBM yang ditetapkan oleh presiden Jokowi baru-baru ini. Saya diminta untuk menyampaikan pendapat dari sisi politik anggaran publik di Indonesia. Tanpa memerlukan analisis dan uraian empiris yang terlalu canggih, sebenarnya kita bisa melihat bahwa APBN dan APBD kita masih sangat tumpul dalam mengatasi masalah-masalah publik di Indonesia. Kegamangan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM yang sudah jelas kurang tepat sasaran serta buruknya sistem penerimaan maupun belanja pemerintah mengakibatkan semakin sempitnya ruang bagi kebijakan fiskal yang efektif sementara aspirasi dan tuntutan masyarakat dalam tatanan yang demokratis semakin kuat. Setelah menaikkan harga BBM, ruang fiskal itu kini sedikit lebih longgar. Tetapi yang pasti akan dituntut oleh rakyat adalah apakah rencana pengalihan subsidi BBM itu benar-benar bisa tepat sasaran dan membuat peran anggaran publik di Indonesia lebih signifikan. Saya juga melihat bahwa lemahnya daya-dorong anggaran publik itu disebabkan karena fragmentasi kepentingan yang semakin rumit justru seiring dengan semakin demokratisnya Indonesia. Apakah pemerintah bisa mengatasi fragmentasi kepentingan itu sehingga bisa lebih memusatkan subsidi kepada program-program yang lebih mendesak dan lebih dibutuhkan oleh rakyat? Inilah pertaruhan politik dan administratif yang akan sangat menentukan kredibilitas presiden baru kita.
[selengkapnya]
Optimalisasi Fungsi DPRD dalam Penyusunan APBD, Bimtek DPRD Kabupaten Berau, Hotel Horison Semarang, 28 Nov 2014
01 Desember 2014
Tantangan bagi sebuah daerah yang kaya sumberdaya alam adalah memastikan bahwa dana pembangunan yang melimpah dari DBH tidak membuat terlena untuk mengembangkan manajemen keuangan daerah yang berkelanjutan. Kabupaten Berau di provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu daerah yang memiliki belanja APBD cukup besar, sekitar Rp 2,8 triliun. Namun dari aspek pendapatan, tampak bahwa upaya pemerintah masih belum optimal karena proporsi PAD hanya 5,6% dari seluruh pendapatan Pemda. Selain itu, kendatipun proporsi belanja pegawai hanya 18,9 persen, secara nominal sudah menyedot Rp 540,7 miliar dari dana APBD. Belanja modal yang proporsinya cukup besar, yaitu 44,6% atau sebesar Rp 1,27 triliun hendaknya terus dievaluasi bagaimana kemanfaatannya bagi rakyat di daerah. Apakah sumberdaya alam akan menjadi berkah bagi peningkatan kemakmuran rakyat atau sebaliknya justru menjadi "kutukan" karena degradasi lingkungan yang parah karena hasil tambang, itulah pertanyaan penting yang saya ajukan dan menjadi bahan perdebatan dalam Bimtek di Semarang ini.
[selengkapnya]
Penghematan dan Peningkatan Efektivitas Perjalanan Dinas, Hotel Gowongan Inn, Jogja
26 November 2014
Presiden Jokowi dan beberapa menteri dalam berbagai kesempatan telah menekankan pentingnya melakukan penghematan biaya birokrasi publik. Namun memang tidak mudah untuk melakukan penghematan itu jika tidak disertai pola manajemen yang terbuka serta perubahan cara-pikir diantara para aparat pemerintah sendiri. Salah satu yang sederhana tetapi seringkali dilupakan adalah upaya untuk melakukan penghematan perjalanan dinas di satu sisi serta peningkatan efektivitas kerja di sisi lainnya. Bersama para pegawai dari daerah (Kabupaten Tana Toraja, Toraja Utara, dan Aceh Barat Daya) saya mendiskusikan masalah ini dalam sebuah pelatihan teknis di Jogja. Saya masih merasakan betapa pola pikir mengenai pemanfaatan perjalanan dinas untuk kepentingan individu pegawai negeri masih sangat kuat. Pertanyaan dan perdebatan masih di seputar bagaimana cara mensiasati sistem pengawasan agar pemanfaatan untuk pribadi pegawai tetap dapat diperoleh sementara ukuran manfaat bagi masyarakat masih kurang mendapat perhatian. Tidak bisa dianggap sepele, reformasi birokrasi harus dimulai dari hal-hal yang tampaknya sepele seperti akuntabilitas perjalanan dinas oleh pegawai pemerintah di daerah. Dari sinilah diharapkan penyadaran yang lebih luas dapat dimulai.
[selengkapnya]
Profesionalisme Pelayanan di Bidang Perijinan, Lokakarya Pengaduan Masyarakat, Dinas Perijinan Kabupaten Bantul
18 November 2014
Saya diundang lagi berbicara di sebuah lokakarya tentang upaya menyempurnakan pelayanan di bidang perijinan. Dinas Perijinan Kabupaten Bantul membuat inisiatif lokakarya ini sebagai bagian dari upaya untuk selalu menyegarkan pegawainya tentang gagasan-gagasan baru di bidang pelayanan perijinan. Selain UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik, ada serangkaian peraturan yang mengharuskan agar Pemda membentuk PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu). Gagasannya sebenarnya sederhanya, yaitu memadukan banyak sistem pelayanan perijinan dan memperpendek prosedur supaya semua bentuk ijin dapat diperoleh dengan efisien, murah, cepat, transparan dan akuntabel. Di banyak daerah, upaya itu sudah dilakukan dengan mencanangkan berbagai program efisiensi. Tetapi memang tidak semua daerah berhasil melakukannya. Hanya dengan komitmen pimpinan yang kuat dan para pegawai yang profesional, keinginan untuk meningkatkan efisiensi pelayanan perijinan itu dapat dicapai. Landasan untuk profesionalisme pegawai sudah ada dengan disahkannya UU No.5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Jadi, saat ini Pemda tinggal memastikan bahwa iklim profesionalisme dapat ditanamkan dalam tata-kerja dan manajemen di Dinas Perijinan. Inilah saatnya untuk bekerja mewujudkan itu.
[selengkapnya]
Undang-undang No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
17 November 2014
Di penghujung masa jabatannya, ada warisan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disahkan oleh DPR yaitu Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang No.23 tahun 2014 ini merupakan pengganti dari UU No.32 tahun 2004 tentang Sistem Pemerintahan Daerah. Melihat produk peraturan yang sangat panjang ini (terdiri dari 27 Bab dan 411 pasal), tidak dapat ditolak kesan bahwa undang-undang ini merupakan hasil kompilasi dari berbagai macam persoalan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, lebih khusus lagi tentang pembagian urusan yang seolah-olah menjadi sangat rumit. Saya melihat bahwa undang-undang ini sebagian besar sekadar memasukkan PP No.38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan. Apakah peraturan ini akan menjadi rujukan yang baik bagi mekanisme kerja yang efektif, efisien dan responsif seperti dijanjikan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Joko Widodo? Masih banyak yang harus dibuktikan karena kebijakan publik memang tidak hanya dapat ditemukan dalam bentuk peraturan formal tetapi juga bisa berbentuk berbagai instrumen lain. Yang pasti, dengan adanya peraturan baru tentunya ada harapan bahwa aspek-aspek tata-pemerintahan yang masih lemah selama ini dapat diatasi dan ditemukan solusinya.
[selengkapnya]
"Indonesia's Cabinet Line-Up: Not All the President's Men", The Conversation
28 Oktober 2014
Untuk kedua kalinya, saya diminta oleh wartawan The Conversation untuk menulis tentang susunan Kabinet Kerja yang telah diumumkan oleh presiden Jokowi pada hari Minggu sore lalu. Seperti yang sudah ditulis oleh banyak analis di media, tampaknya publik menyambut pengumuman profil kabinet ini dengan dingin. Bisnis tampaknya tidak begitu baik menyambut kepastian tentang kabinet ini. Tetapi yang jelas tampak ialah bahwa Jokowi belum berhasil melepaskan diri dari belitan oligarkhi politik yang mengelilingi dirinya. Penunjukan menteri itu masih lebih banyak dipengaruhi oleh para pimpinan Parpol yang selama ini mendukung pencalonannya sebagai presiden. Beruntung bahwa Jokowi masih bisa berkelit dengan mengutamakan sosok yang punya integritas dan rekam-jejak yang bersih dengan melibatkan PPATK dan KPK dalam menyeleksi calon-calon menteri tersebut. Banyak analis yang mengatakan bahwa penunjukan para menteri itu masih banyak yang mengabaikan kompetensi, spesialisasi dan kecakapannya. Baiklah, kita beri saja kesempatan para menteri itu untuk menunjukkan kualitas dirinya dalam mengelola negara. Selanjutnya, kita berharap presiden dapat memberikan penilaian yang objektif dan mengevaluasi terus kinerja mereka. Jangan ragu-ragu untuk mengganti sosok yang kinerjanya buruk. Kiprah pemerintahan Jokowi sangat ditunggu oleh seluruh rakyat.
[selengkapnya]