Demokrasi vs. Meritokrasi, Seminar Manajemen Kepegawaian Daerah, Gedung Bappeda Provinsi Jogjakarta, 17 Mei 2006
24 Mei 2007
By admin | May 24, 2007
Keputusan Menpan bernomor B/1110/M.PAN/6/2005 tertanggal 9 Juni 2005 adalah blunder bagi kebijakan kepegawaian di Indonesia. Dampak dari keputusan yang kurang bijaksana ini adalah kekacauan rekrutmen pegawai di sejumlah daerah. Akibatnya, rekrutmen PNS yang berpedoman pada Keputusan Menpan tersebut didemo oleh para pendaftar pegawai, tenaga honorer, dan memicu sejumlah kekecewaan bagi para perumus kebijakan di daerah. Tampak bahwa kebijakan rekrutmen pegawai ini diwarnai dengan pertentangan paradigme antara demokrasi versus meritokrasi. Lalu, apa yang masih dapat dilakukan oleh para pejabat di daerah?
Seminar PPI-USM, Penang, 3 Mei 2007; Agenda Perlindungan TKI di Malaysia
02 Mei 2007
By kumoro | May 4, 2007
Sudah banyak forum diskusi, seminar, diskusi panel, lokakarya dan forum dialog lainnya yang membahas masalah buruh migran atau TKI, tidak terkecuali masalah yang dihadapi TKI di Malaysia. Tetapi meskipun usulan dan rekomendasi kebijakan sudah banyak disampaikan kepada pemerintah dan konon pemerintah juga sudah berupaya melakukan berbagai terobosan, berbagai persoalan menyangkut TKI masih selalu ada, dan bahkan semakin kompleks. UU No.39/2004, Inpres No.6/2006, MOU antara Indonesia-Malaysia adalah berbagai macam rumusan kebijakan yang dimaksudkan untuk mencegah berbagai bentuk pelanggaran HAM, pelecehan, dan penyiksaan para TKI yang bekerja di Malaysia. Tetapi mengapa kasus-kasus penyiksaan dan pelanggaran masih terus terjadi? Sudah saatnya pemerintah untuk memperbaiki komitmen, bukan hanya dengan MOU tetapi dengan melaksanakan berbagai kebijakan di lapangan secara konsisten. Inilah agenda pokok dalam memberikan perlindungan kepada TKI. agenda-perlindungan-tki-di-malaysia.pdf
“Altruisme Komersial”, Kedaulatan Rakyat, 9 Juni 2006
02 Mei 2007
By kumoro | May 24, 2007
Beberapa minggu setelah gempa yang meluluh-lantakkan kawasan Bantul dan sekitarnya pada tanggal 27 Mei 2006, begitu banyak pihak yang tampaknya bersemangat untuk membantu warga yang terkena musibah. Sangat mengharukan melihat ketulusan dari para relawan yang membantu warga secara langsung di lokasi musibah. Tetapi salah satu fenomena yang perlu dicermati ialah banyak diantara lembaga komersial yang menggunakan kesempatan ini untuk mengambil keuntungan secara komersial, kendatipun dilakukan dengan embel-embel altruisme untuk membantu korban gempa. Inilah fenomena penanganan musibah di tengah gelombang konsumerisme dan kapitalisme yang merasuk ke dalam semua segi kehidupan masyarakat.
Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2007; Kebijakan “Rolling Door”
28 April 2007
By kumoro | April 28, 2007
Belakangan ini masyarakat semakin sulit mengikuti logika dari arah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Proses perumusan kebijakan tampaknya memang tidak mungkin hanya bisa diikuti dari mekanisme formal seperti sidang kabinet terbatas, dengar-pendapat di DPR, atau forum-forum semacam itu. Inilah fenomena kebijakan “rolling door”. Kita bisa melihat ini dari proses penyelesaian masalah korban lumpur panas Sidoarjo yang sangat lamban, penggunaan perangkat lunak Windows ketika pemerintah tiba-tiba berbelok arah, dan sebagainya. Kepentingan publik seringkali terdesak oleh kepentingan pengusaha, oligarkhi elit politik, serta kepentingan-kepentingan sempit lainnya. Sebagai bagian dari proses pendewasaan dalam berdemokrasi, masyarakat tentunya harus lebih kritis dan waspada terhadap proses perumusan kebijakan publik seperti ini. Fenomena perumusan kebijakan rolling door memang bisa terjadi di negara-negara maju, apalagi di negara yang masih belajar berdemokrasi seperti Indonesia.
Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik, 18 April 2007; Memperbaiki Mekanisme Kawal dan Imbang dalam Pemerintahan Daerah
25 April 2007
By kumoro | April 25, 2007
Tahun 1999-2004 adalah periode ketika sistem pemerintahan daerah mengikuti mekanisme “legislative-heavy” sehingga DPRD begitu berkuasa di hadapan eksekutif daerah (gubernur, bupati/walikota). Banyak kekacauan politik maupun administratif di daerah karena konflik eksekutif-legislatif yang berkepanjangan atau karena konspirasi diantaranya keduanya yang mengakibatkan merebaknya korupsi di daerah. Setelah dilaksanakannya Pilkada secara langsung mulai pertengahan tahun 2005, mekanisme kawal dan imbang (checks and balances) sebagian sudah berubah. Perkembangan terakhir ialah disahkannya PP No.3/2007 yang memberlakukan “triple accountability”, bahwa seorang kepala daerah harus bertanggungjawab kepada pejabat atasan, kepada DPRD, dan sekaligus kepada rakyat di daerah. Apakah mekanisme kawal dan imbang semacam ini akan lebih efektif? Ada banyak hal yang memerlukan catatan tersendiri.
“Sulitnya Melacak Dana Kampanye”, Suara Merdeka, 24 Juni 2004
24 April 2007
By kumoro | June 5, 2007
Di tengah antusiasme rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan presiden secara langsung, masalah akut yang sering menghinggapi peta politik pemilihan adalah ketidakjelasan mengenai sumber dana kampanye para calon presiden. Semua pasangan calon presiden memang telah menyatakan secara terbuka berapa kekayaan total mereka dan apa saja sumber-sumber dana yang mereka gunakan untuk berkampanye. Tetapi kalau melihat besaran kegiatan mereka di lapangan, sulit untuk mempercayai bahwa apa yang disebut di dalam pernyataan politik para calon presiden itu mendekati kebenaran. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa sumber-sumber dana itu tetap menggelontor masuk ke pundi-pundi para calon presiden melalui pintu belakang. Melacak dana kampanye memang sulit, tetapi ini merupakan keharusan bagi kita semua agar demokratisasi tidak tercemar oleh berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan penyimpangan dana.
Salah satu hal yang mengecewakan rakyat dari pelaksanaan kebijakan otonomi daerah ialah bahwa APBD belum benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara nasional, sangat memprihatinkan bahwa sebagian besar belanja APBD (rata-rata 69%) tersedot untuk menggaji pegawai negeri atau untuk belanja perjalanan dinas. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa APBD adalah anggaran publik sedangkan sebagian besar alokasinya tidak benar-benar untuk publik?
Buku yang ditulis oleh mantan presiden Habibie dengan tajuk “Detik-detik Yang Menentukan” adalah sebuah kesaksian sejarah mengenai kemelut politik yang terjadi menyusul tumbahnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1998. Terbitnya buku ini mendapat protes keras dari Prabowo Subianto, mantan Pangkostrad, yang merasa disudutkan oleh isi buku Habibie ini. Tetapi yang lebih penting bagi khalayak untuk menyikapi buku ini adalah memahaminya dari sudut pandang kritis. Inilah buah dari semangat demokrasi. Semua orang bebas berpendapat dan pada akhirnya masyarakatlah yang akan menilai mana pendapat yang mengandung argumentasi paling kuat.
Salah satu hal yang mengecewakan rakyat dari pelaksanaan kebijakan otonomi daerah ialah bahwa APBD belum benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Secara nasional, sangat memprihatinkan bahwa sebagian besar belanja APBD (rata-rata 69%) tersedot untuk menggaji pegawai negeri atau untuk belanja perjalanan dinas. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa APBD adalah anggaran publik sedangkan sebagian besar alokasinya tidak benar-benar untuk publik?
Majalah e-Indonesia, 6 Sep 2006, “Mengapa Sosialisasi TI di Kalangan PNS Berjalan Lamban?”
18 April 2007
By kumoro | April 18, 2007
Sudah begitu banyak keluhan disampaikan oleh masyarakat tentang buruknya pelayanan publik di Indonesia. Salah satu penyebab dari pelayanan publik yang kurang responsif ialah terlambatnya pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) diantara para PNS, sumberdaya manusia yang menjadi penggerak utama pelayanan publik. Tetapi mengapa sosialisasi TI di kalangan PNS begitu lamban? Sebagian pendapat mengatakan lemahnya kultur birokrasi publik sehingga mereka sulit untuk diubah dari status sebagai “pangreh praja” menjadi “pamong praja”. Simak wawancara saya dengan salah satu majalah yang mengupas e-Government di Indonesia.