Sistem Penunjukan Langsung dalam Pengadaan Barang di BUMN/BUMD, Hotel Arjuna, Jogja
29 April 2014
Dalam lokakarya yang pesertanya sebagian besar adalah anggota panitia pengadaan, PPK, dan KPA ini saya menguraikan dua hal pokok: 1) Sistem penunjukan langsung dalam pengadaan, dan 2) Pengadaan oleh BUMN/BUMD. Sistem pengadaan dengan penunjukan langsung saat ini masih diliputi oleh persepsi yang buruk sebagai sistem yang rentan terhadap penyimpangan, penyalahgunaan kewenangan, dan korupsi. Persepsi ini tidak sepenuhnya benar mengingat bahwa kemungkinan penyimpangan selalu ada dalam sistem pengadaan, termasuk sistem lelang umum atau lelang terbatas. Selanjutnya, masalah yang saat ini masih menjadi sumber perdebatan adalah apakah pengadaan oleh BUMN/BUMD harus mengikuti ketentuan dalam Perpres No.70/2012 sebagai revisi dari Perpres No.54/2010 tentang pengadaan. Ada yang berpendapat bahwa BUMN/BUMD bisa dikecualikan dari peraturan tersebut karena sepenuhnya bisa mengikuti sistem pengadaan dalam perusahaan swasta yang lebih mengandalkan supply-chain yang profesional. Sebaliknya, karena pengadaan barang BUMN/BUMD adalah untuk kepentingan publik, prosedurnya tetap harus mengikuti ketentuan yang berlaku dalam sistem pengadaan barang dan jasa publik. Mana yang betul? Saya mencoba membahas isu-isu di seputar ini dengan para pelaku yang sehari-hari memang menghadapi persoalan teknis di bidang pengadaaan.
[selengkapnya]
Pemikiran tentang Revisi UU No.32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah, Diskusi bersama Sekretariat DPR
15 April 2014
Beberapa orang staff dan tenaga ahli Sekretariat DPR-RI berkunjung ke Jurusan MKP, Fisipol UGM, untuk membicarakan tentang draf revisi UU No.32/2004. Saya mendapat perintah dari Ketua Jurusan untuk menjadi pemantik diskusi mengenai RUU ini. Terus-terang, saya sendiri heran apakah momentumnya masih tepat untuk membicarakan RUU ini. Posisi anggota DPR sendiri saat ini sudah menjadi "lame-duck" dan tampaknya tidak tertarik lagi untuk membahas rencana legislasi yang temanya cukup strategis dan berpotensi menimbulkan konflik seperti undang-undang sistem pemerintahan daerah ini. Selain itu, setelah selesainya Pemilu Legislatif dan sekarang banyak pimpinan Parpol maupun politisi bernegosiasi untuk Pemilu Presiden, apakah masih ada energi para anggota DPR untuk bicara tentang penyelesaian legislasi? Tetapi baiklah, dengan mengesampingkan semua keraguan tentang keseriusan para anggota DPR, saya menyampaikan beberapa pemikiran tentang persoalan pemerintahan di daerah dalam forum ini. Kalaupun tidak menjadi pertimbangan dari para anggota DPR yang menjabat sekarang, setidaknya saya berharap supaya isu-isu kebijakan terkait pemerintahan daerah ini bisa ditangkap oleh anggota DPR periode yang akan datang.
[selengkapnya]
"Dari Rakyat untuk (Wakil) Rakyat", Analisis, Kedaulatan Rakyat
21 Maret 2014
Kinerja lembaga legislatif dalam sepuluh tahun terakhir masih sangat mengecewakan. Tidak pernah lebih dari separuh agenda yang masuk Prolegnas bisa dirampungkan oleh DPR. Untuk tahun 2013, dari 66 RUU yang diagendakan, DPR hanya mampu merampungkan 20 undang-undang. Demikian juga di tingkat daerah, banyak agenda legislasi DPRD yang tidak bisa diselesaikan sedangkan kualitas Perda yang dibuat masih rendah. Di lain pihak, dana yang terserap oleh para anggota dewan itu begitu besar, lebih dari Rp 11,8 triliun dalam periode 2009-2014. Sementara itu, berita kurang sedap mengenai banyaknya wakil rakyat yang terindikasi korupsi masih sangat banyak. Dengan begitu, pertanyaan yang harus dijawab menjelang Pemilu legislatif tanggal 9 April 2014 ini adalah: apakah benar bahwa demokrasi yang kita jalani sudah berpihak pada rakyat? Saya berani mengatakan bahwa jawabannya: Belum! Karena itu, warga pemilih sekarang harus benar-benar waspada, rasional dan cermat untuk menentukan pilihan bagi para Caleg yang sedang berlomba untuk memoles citranya di depan publik. Jangan sampai Pemilu kali ini kembali menghasilkan hadirnya para politisi busuk yang hanya mementingkan diri-sendiri, mementingkan Parpol, dan menguras uang negara dengan perilaku korup mereka.
[selengkapnya]
Tuntutan bagi Jabatan Fungsional Perencana Berdasarkan UU No.5 th 2014, hotel Lumire, Jakarta
10 Maret 2014
Untuk bahan sosialisasi bagi para pegawai yang memiliki Jabatan Fungsional Perencana (JFP), Pusbindiklatren Bappenas menyelenggarakan sebuah seminar kecil yang menghadirkan beberapa pembicara dari Kemenpan & RB, BKN, LAN, dan beberapa Kementerian teknis. Sesepuh Bappenas, Prof.Mustopadidjaja, termasuk yang diundang dalam seminar. Dengan berbekal UU ASN yang sudah ada di tangan para peserta, riwayat ratifikasi undang-undang yg alot, serta ide-ide baru bagi terobosan untuk reformasi birokrasi, saya mengupas bagaimana implikasinya terhadap pegawai JFP. Profesionalisme adalah dasar yang kuat bagi apapun sistem yang diberlakukan. Karena itu, bagi pegawai yang sudah menjunjung tinggi komitmen dan profesionalisme, sebenarnya tidak perlu ada kekhawatiran dengan pemberlakuan undang-undang baru ini. Pegawai justru akan merasa aman dan menikmati pekerjaan mereka jika sudah bekerja secara profesional untuk tujuan pelayanan publik yang lebih baik.
[selengkapnya]
"Profesionalisme Aparatur Sipil Negara", Kedaulatan Rakyat
15 Januari 2014
Setelah bertahun-tahun dibahas, dijadikan sebagai topik hangat dalam berbagai seminar, dan diperdebatkan diantara para politisi, akhirnya Undang-undang Aparatur Sipil Negara (UU-ASN) disahkan. Ada banyak kebijakan baru yang reformis terkait dengan sistem kepegawaian bagi PNS di Indonesia. Bagi saya, yang menarik adalah bahwa ASN semestinya diisi oleh orang-orang yang memang profesional, punya kemampuan memadai, dan punya komitmen untuk mengabdikan karirnya sebagai abdi masyarakat. Karena itu, penilaian kinerja secara objektif dan jelas bagi PNS maupun PPPK adalah sebuah langkah berani. Struktur jabatan yang hanya mengenal tiga kategori (JPT, administrasi, fungsional) dengan eselonisasi yang disederhanakan juga diharapkan akan dapat mengurangi kompleksitas dalam urusan SDM pemerintah dan sekaligus menjamin "tour of duty" yang produktif di seluruh tanah-air. Mengenai KASN, saya berharap nasibnya tidak akan menjadi banyak lembaga non-struktural lain yang selama ini kita kenal, yang hanya menambah proliferasi, menambah anggaran, tetapi tidak menyumbang pada perbaikan manajemen pemerintah. Yang paling penting, di tahun politik 2014 ini kita berharap bahwa profesionalisme para pegawai negeri dapat dipagari sehingga rekrutmennya tidak boleh dijadikan sebagai komoditas politik dan netralitas PNS selanjutnya dapat dijaga agar mereka fokus pada tugas pokok pelayanan publik.
[selengkapnya]
Optimalisasi Fungsi Biro Tata Pemerintahan, Laporan Asistensi Pemprov DIY
23 Desember 2013
Sebagai bagian dari kegiatan asistensi di Biro Tata Pemerintahan, saya menulis sebuah laporan pendek tentang identifikasi masalah yang dihasilkan dari hasil diskusi dan serangkaian pertemuan selama 4 bulan penugasan di Pemprov DIY. Karakter biro sebagai satuan staff di dalam struktur organisasi pemerintahan seringkali sulit ditafsirkan dengan baik dan menjadi kendala bagi pelaksanaan kegiatan oleh para pegawai di Biro Tata Pemerintahan. Para pejabat dan pegawai di Biro Tapem yang profilnya semakin menua juga menjadi kendala bagi penyusunan program yang inovatif. Namun sebaliknya Biro Tapem semakin menempati posisi yang strategis di DIY yang harus mengisi dan sekaligus mendukung keistimewaan DIY seperti telah digariskan dalam UU No.13/2012. Banyak hal yang harus ditata dengan lebih baik menyangkut hubungan dengan pemerintah pusat dan mengembangkan lembaga yang dapat melaksanakan berbagai program dengan dana keistimewaan yang akan terus dialokasikan mirip seperti dana Otsus di Aceh dan Papua. Apakah status keistimewaan akan dapat menjadikan program pembangunan berbasis budaya di Prov DIY berjalan lebih efektif, responsif dan akuntabel? Inilah yang harus dibuktikan oleh jajaran pegawai di berbagai SKPD, salah satunya di Biro Tapem.
[selengkapnya]
Filosofi Pengawasan, Perubahan Paradigma dalam Peran Lembaga Pengawas di Daerah, Wisma MM-UGM, Jogja
15 Desember 2013
Di hadapan sekitar 40 orang auditor dari Inspektorat Daerah Kabupaten Mojokerto, saya membahas isu-isu mendasar seputar filosofi pengawasan dan bagaimana mestinya para auditor memainkan peran mereka dalam sistem pengawasan di daerah. Fungsi pokok pengawasan adalah memberikan informasi yang akurat mengenai kinerja individual dan SKPD, melakukan pembinaan terkait dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta melakukan tindakan koreksi jika terjadi penyimpangan. Tetapi fungsi pokok ini seringkali dilupakan ketika seorang auditor melaksanakan tugasnya, apalagi kalau sudah dikejar target dan iklim organisasi hanya mengutamakan agar auditor bisa memperoleh "temuan". Akibatnya, kendatipun lembaga pengawas dan pemeriksa di Indonesia sudah sedemikian banyak, penyimpangan dan korupsi tidak banyak bisa dicegah. Upaya mengatasi ini memang tidak hanya bisa diserahkan kepada para auditor, tetapi perubahan paradigma benar-benar diperlukan untuk menghasilkan sistem pengawasan dan pemeriksaan yang dapat diandalkan dalam pencegahan korupsi.
[selengkapnya]
Reformasi Birokrasi, Remunerasi dan Kinerja Sektor Publik, FGD Direktorat Apneg Bappenas, Hotel Akmani, Jakarta
01 Desember 2013
Sebuah diskusi mengenai reformasi birokrasi dan remunerasi digelar di Jakarta oleh Direktorat Aparatur Negara Bappenas dengan fasilitasi dari GIZ Jerman. Banyak pihak yang sudah begitu keras mengkritik tentang reformasi birokrasi di Indonesia yang hanya sekadar ditafsirkan sebagai perbaikan remunerasi. Disamping belum bisa meningkatkan kinerja birokrasi publik secara signifikan, kebijakan penambahan remunerasi ternyata membawa konsekuensi fiskal yang begitu besar. Lebih dari seperlima belanja APBN sudah harus digunakan untuk membayar PNS di Indonesia setelah kebijakan remunerasi. Sementara itu, kebutuhan untuk membayar pensiun PNS tidak bisa lagi dibayarkan oleh PT Taspen sehingga membebani pengeluaran negara yang posisi terakhirnya sudah mencapai Rp 74 triliun per tahun. Apa saja perubahan kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi persoalan ini? Sekali lagi, sudah begitu banyak gagasan dikemukakan oleh para pakar dan konsultan sektor publik guna mengatasi persoalan ini. Yang diperlukan sekarang adalah menemukan kebijakan strategis yang terukur, benar-benar bisa dilaksanakan, dan diterima oleh semua pemangku kepentingan.
[selengkapnya]
Penataan Organisasi di Perguruan Tinggi, hotel Saphir, Jogja
27 November 2013
Mendapat undangan dari kantor Hukum dan Organisasi UGM untuk menjadi narasumber, saya terus-terang menghadapi beban berat karena harus berbicara tentang teman-teman sendiri dan isu-isu internal di UGM. Tetapi karena saya juga tidak bisa menolak, saya penuhi kewajiban untuk berbicara dalam forum yang melibatkan para Kepala Biro, Kantor, dan unit-unit operasional di UGM ini. Dengan UU No.12 tahun 2012 yang telah menetapkan UGM sebagai Perguruan Tinggi Badan Hukum, bukan BLU (Badan Layanan Umum), sebenarnya ada banyak peluang terbuka bagi UGM untuk meneruskan visinya sebagai universitas riset. Dalam hal ini, semestinya struktur dan unit-unit organisasi yang strategis juga bisa segera diidentifikasi berdasarkan visi tersebut. Namun memang tidak mudah untuk menciptakan struktur yang ramping, efisien dan sekaligus responsif bagi UGM yang sudah memiliki 18 fakultas dan 155 program studi. Banyak hal yang harus dibicarakan secara terbuka dan dianalisis secara objektif sebelum reorganisasi yang sistematis dilaksanakan. Semuanya tergantung kepada kesiapan jajaran pimpinan dan pejabat teknis di UGM untuk melakukan evaluasi secara objektif dan melaksanakan penataan organisasi secara konsisten.
[selengkapnya]
Beberapa Pemikiran tentang RUU Pengadaan Barang dan Jasa, Konsultasi Publik Kemitraan, hotel Aston Jogja, 29 Okt 2013
30 Oktober 2013
Melihat kenyataan bahwa hampir 70% dari kasus korupsi yang terungkap di Indonesia bermula dari pengadaan barang dan jasa (PBJ), urgensi untuk mengesahkan UU tentang Pengadaan sangat jelas. Banyak korupsi dan penyimpangan dari PBJ yang lolos dari jerat hukum karena memang belum ada kerangka hukum yang bisa memberikan sanksi pidana secara eksplisit. Tetapi kemajuan dari RUU PBJ sampai sekarang berjalan begitu lambat. Draf yang diajukan ke Setneg ditolak mentah-mentah oleh Kementerian Teknis, Kementerian Keuangan, dan konon oleh Bappenas sendiri yang sebenarnya pernah membidani terbentuknya LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah). Sementara itu, 2 draf RUU yang diusulkan oleh aliansi masyarakat sipil masih belum jelas nasibnya. Menurut beberapa kawan di LSM, draf itu mungkin harus disorongkan lewat DPR agar bisa menjadi bagian dari Prolegnas dan dapat diteruskan ke proses ratifikasi. Melihat materi yang tampak dalam Naskah Akademik maupun draf RUU tersebut, memang dapat dipahami bahwa banyak pihak yang merasa kepentingannya terancam oleh RUU ini. Memenuhi undangan konsultasi publik yang diselenggarakan oleh Kemitraan, saya hadir dan mencoba memantik diskusi publik agar agenda kebijakan yang sangat penting ini bisa bergulir lebih lanjut.
[selengkapnya]